Yogyakarta, 12 Juni 2025 – Kritik
membangun hadir dari diskusi setelah screening film Nyanyi Sunyi Dalam Rantang produksi Stranas PK yang
disutradarai Garin Nugroho. “ Tadi disebut tanah adat, tapi kok dialognya
dialog Jawa. Di Yogya, Jawa sendiri tidak ada sebutan tanah adat. Dan Setelah
nonton, saya tadi berpikir, ini Della tuh berasosiasi dengan lembaga bantuan
hukum mana. Karena kalau di kehidupan nyata, banyak kok pendampingan, atau
bantuan hukum. Bener-bener bikin frustasi film ini”, demikian
diungkapkan Dr. Sartika Intaning Pradhani, pakar hukum adat UGM yang menjadi
narasumber dalam diskusi screening film Nyanyi Sunyi Dalam Rantang yang
disutradarai Garin Nugroho.
Hal serupa juga diutarakan oleh guru
besar Departemen Manajemen dan Kebijakan Publik Fisipol UGM yang juga
merupakan Sekretaris Dewan Guru Besar UGM/ Prof. Wahyudi Kumorotomo, ”Di
ending film ada suara yang benar-benar bikin frustasi. Ini benar-benar berbeda
dengan film bertema korupsi yang pernah diputar juga di UGM, karya Garin
Nugroho lainnya. Film ini sangat detil, frustasi nya terasa sekali”.
Perwakilan mahasiswa juga
menanyakan hal serupa dan penasaran kenapa film pendidikan korupsi dikemas
berkelas festival. Perwakilan dari Garin Production yang hadir dalam screening
di UGM menanggapi bahwa skenario film ini telah melalui diskusi yang Panjang
dengan tim Stranas PK yang memiliki dasar pemahaman yang sama tentang dampak
korupsi yang sangat luar biasa, ”Mas Garin memang sengaja membuat kita tidak
nyaman, bahkan di ending dengan suara backsound yang bikin kita benar-benar gak nyaman agar jadi renungan”, jelas Seto, salah satu produser film.
Film produksi Stranas PK ini memang dimaksudkan sebagai
bahan sosialisasi dasar pelaksanaan aksi pencegahan korupsi. Film ini seolah membuka luka yang sering tersembunyi, bahwa
perjuangan melawan korupsi bukan hanya soal kekuasaan dan uang negara, tetapi
soal kelelahan menjaga nurani di tengah sistem yang membungkam. Bagi mereka
yang selama ini terlibat dalam pembelaan hak-hak masyarakat adat, film ini
menjadi cermin yang menyakitkan sekaligus penting karena banyak Puspa di luar
sana, yang berjuang nyaris sendiri.
Diskusi yang dihadiri akademisi, mahasiswa, dan aktivis memperlihatkan
bahwa narasi dalam film bukan sekadar fiksi, tetapi mewakili kenyataan hukum
yang dihadapi komunitas lokal setiap hari: konflik tanah, kriminalisasi warga,
peminggiran nilai-nilai adat, dan lemahnya perlindungan dari negara.
Seleian menghadirkan pakar hukum adat sebagai narasumber, diskusi
juga mendatangkan pemeran Krisna, kakak dari Puspa yang menajdi tokoh utama di
film ini, Koordinator Harian Stranas, Didik Mulyanto, dan Faiza
Hasan, Advisor GIZ Corruption Prevention in Forestry Sector.
Film ini dapat
menjangkau ruang-ruang publik seperti kampus UGM berkat dukungan penuh dari GIZ
melalui program Kerja Sama Indonesia–Jerman
dalam Pencegahan Korupsi di Sektor Kehutanan (CPFS). Kolaborasi
ini menjadi contoh konkret bahwa diplomasi pembangunan dan pendekatan
kebudayaan dapat bersatu dalam membangun ekosistem antikorupsi yang adil dan
berkelanjutan. Khusus untuk roadshow Yogya, juga terselenggara berkat kerjasama
dengan Tempo Media.